Cerita Horror: Jeritan Malam Chapter 17

Cerita dari kaskus oleh meta.morfosis

Sebuah pembuktian bagian lima, terungkapnya sejarah mess..

<< Baca sebelumnya: cerita horror jeritan malam chapter 16

“zaa.. yakin lu? kita sama sekali buta dengan tempat ini” ucap indra dengan suara bergetar entah karena disebabkan dinginnya malam atau karena tercekam rasa takut.

“mas dikin tolong turunin ransel saya” pinta gw kepada mas dikin, sambil meletakan tas pinggang yang gw bawa ke bawah kursi, gw tidak mau kujang/keris yang gw bawa ini akan menghambat perjalanan kami.

“itu ransel ngapain dibawa za? tinggal aja dimobil” tanya minto dengan penuh rasa keheranan melihat gw ikut serta membawa ransel.

“aneh lu za, apa sih isinya itu ransel, sepertinya berat bangat” terlihat indra mencoba mencari tau tentang isi ransel yang gw bawa sambil tangannya terlihat meraba raba ransel yang tampak terlihat penuh dengan isinya.

“awas lu za.. jangan berbuat yang aneh2 deh, bisa2 kita celaka nih” ucap minto memberikan peringatan.

“iya pak, bisa repot kalau terjadi sesuatu di tempat yang sepi seperti ini” kini mas dikin sedikit khawatir melihat apa yang selanjutnya akan gw lakukan.

“udah jangan mikir yang aneh aneh, sebaiknya kita jalan sebelum tertinggal jauh dari hesti” jawab gw untuk mengingatkan suara motor hesti yang kini tidak terdengar lagi.

“terus ini mobil gimana pak? ditinggal disini aja?” tanya mas dikin khawatir untuk meninggalkan mobil ditempat yang agak sepi dan menjauhi jalan setapak yang akan kita lalui.

“yahhh kalau mas dikin berani nunggu disini, boleh juga tuh” ledek minto mengetes keberanian mas dikin.

“wahhh enggak berani saya pak” jawabnya sambil menatap ke kegelapan malam.

Dengan bermodalkan senter yang memang sengaja sudah gw persiapkan sebelum berangkat, kami mulai menapaki jalan setapak, jalan ini terlihat tidak terlalu banyak dilalui banyak kendaraan selain jalannya yang sudah rusak, jalan ini sepertinya hanya diketahui beberapa gelintir orang saja yang memang mempunyai tujuan ke tempat ini, hingga akhirnya langkah kami menemui akhir dari jalan yang beraspal

“yakin nih za?” gw hanya mengangguk tanpa menunjukan rasa khawatir yang gw rasakan, tempat ini sangat terasa sepi, dingin dengan kumpulan pohon besar yang seolah olah mengawasi kami dengan sejuta misterinya

“mas dikin, apakah ini sudah masuk kawasan hutan b*t*r* dimana mbah warsono tinggal?” tanya gw mencoba mencari tau dimana gw berada saat ini.

“belum pak.. kita belum memasuki kawasan itu, ini hanyalah deretan hutan sebelum kita memasuki hutan yang kita maksud” jawab mas dikin.

“masih jauh?” tanya gw kembali.

“cukup jauh pak”

Tatapan gw kembali menatap jalan setapak yang terlihat tidak berujung dalam gelapnya malam dan kabut tipis yang menghalangi pandangan mata, hanya ada dua pilihan diantara langkah kaki yang terhenti ini, mengurungkan niat mengikuti hesti dan hidup dalam rasa penasaran atau tetap mengikutinnya dengan resiko yang tidak kami ketahui didepan sana, setelah berdebat cukup lama akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ini, hingga akhirnya setelah semakin jauh kami melangkah, tatapan mata kami terhenti pada suatu titik dimana motor yang dikendarai hesti terlihat terparkir.

“hati hati za, nanti kita bisa ketahuan” terlihat minto mencoba memperingati gw sambil berjalan mengendap2 menghampiri motor yang terparkir, mata kami serempak mencoba mencari keberadaan hesti dalam gelapnya malam, gw coba mengarahkan senter untuk menembus kegelapan malam, gila rasanya ketika gw harus memutuskan arah langkah dimana kami sangat terasa sangat asing dengan tempat ini, bayangan gw tentang ancaman hewan hewan malam yang mungkin sedang mengintai kami bagaikan sebuah teror yang memberikan gw peringatan untuk membatalkan pencarian ini.

“coba lihat itu pak..” ucap mas dikin sambil menunjuk sebuah jalan setapak kecil dengan bebatuan besar yang berpola seperti layaknya sebuah anak tangga hasil karya alam.

“bagaimana feeling lu ndra, to?” tanya gw kepada indra dan minto.

“sepertinya itu jalannya za” jawab indra, tatapannya terlihat jauh menatap anak tangga, keterbatasan daya pengelihatan kami hanya menyisakan sebuah tanda tanya besar akan apa yang akan kami temui dikegelapan sana, terlihat minto menghisap rokoknya lebih dalam lagi tapi itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa takut yang dia rasakan.

“sumpah za.. gw takut banget” ucap minto.

“zaa.. lu bawa kujang/keris itu kan?” kali indra mencoba menghimpun keberaniannya, dia berharap kujang/keris ini bisa memberikan sugesti keberanian yang lebih dibanding yang sekarang dia rasakan.

“bawa.. ayo berangkat” entah ini kebohongan yang baik atau yang buruk, gw hanya berharap ini akan menjadi sebuah awal jawaban dari semua kejadian2 aneh yang gw alami selama ini.

“zaaa”

“duhhh.. apa lagi sih to!” nada bicara indra kini agak meninggi, terlihat minto memegang perutnya dengan wajah menegang.

“lu kenapa to? keram perut?” tanya gw penuh kekhawatiran.

“gw sakit perut”

“astaga to, perut lu benar2 enggak bisa diajak kompromi nih” indra menggeleng gelengkan kepalanya sambil mencoba menahan tawanya.

“tangkap to” terlihat minto menangkap botol air minum kemasan yang memang sengaja gw simpan didalam ransel.

“tapi dimana..?” ucap minto dengan raut wajah kebingungan.

“yang pasti bukan disini to.. gila aja lu buang hajat didepan kami.. disana” gw coba memberikan solusi dengan menunjuk ke rerimbunan semak belukar, terlihat indra dan mas dikin kini sudah tidak bisa lagi menahan tawanya, tapi semuanya kembali menjadi sunyi seiring isyarat yang gw berikan untuk menghentikan semua keriuhan ini.

Tampak keraguan terlihat dari wajah minto untuk menyingkap rerimbunan semak belukar yang kini ada dihadapan matanya.

“tega lu semuanya..” sebuah ucapan yang mengiringi tubuh minto menghilang dalam rimbunnya semak belukar dan meninggalkan kami dalam kegelapan malam, senter yang menjadi harapan kami untuk menembus kegelapan malam kini sudah menjadi sumber penerang bagi minto.

“ndraaa…” terdengar suara minto yang berharap balasan dari kami.

“gw disini to…berisik lu” jawab indra agak sengit, kurang lebih 7 menit berlalu kesunyian ini, hingga terdengar kembali suara minto memanggil nama gw, isyarat yang diberikan indra untuk tidak menjawab panggilan itu, mengurungkan niat gw untuk menjawabnya, hingga akhirnya terdengar kembali suara panggilan minto tapi kali ini suara yang terdengar seperti suara seseorang yang sedang dilanda kepanikan, disusul dengan suara benda terjatuh dalam rimbunnya semak belukar, rasa panik dan khawatir akan kondisi minto begitu kami rasakan, prasangka buruk akan gangguan hewan liar yang menyerang minto dalam kegelapan malam begitu mendominasi diantara prasangka2 yang ada, tanpa menunggu aba2 kami berlarian menerjang gelapnya malam dan semak belukar yang menghadang, cahaya senter yang masih menyala cukuplah menunjukan keberadaan minto.

“to.. kenapa lu to.. sadarr” ucap indra dengan paniknya sambil menggoyang2kan tubuh minto yang terbaring dalam rerimbunan, dari raut wajahnya tidak menggambarkan dengan apa yang dinamakan kerasukan, ini lebih menunjukan pada raut wajah keterkejutan terhadap sesuatu, jari jari tangannya mencoba menunjukan sesuatu tapi semua tidak berjalan selaras dengan mulutnya yang terkunci rapat.

“matikan cahaya senternya..” perintah gw pelan pada mas dikin sambil memberikan isyarat untuk menghentikan percakapan begitu menyadari terdengar suara samar2 dari kejauhan tapi perlahan demi perlahan suara itu kian mendekat hingga akhirnya menampakan wujudnya, seorang wanita dengan tiga orang pria yang menemaninya, gw bisa memastikan sosok wanita itu adalah hesti sedangkan untuk tiga pria yang mendampinginya, gw masih berusaha mencari tau siapa mereka, hingga akhirnya gw bisa menyimpulkan bahwa sosok yang terlihat dengan pakaian unik serta pernak pernik yang dikenakannya mengingatkan gw akan sosok dengan profesi sebagai orang pintar yang dulu pernah megadakan ritual di mess, sedangkan pria yang satu lagi terlihat sebagai asistennya, orang itu terlihat sangat tidak normal dengan bentuk tangan kanan yang lebih panjang dibandingkan tangan kirinya, sedangkan sosok pria yang lain terlihat tidak banyak bicara terkesan hanya sebagai pendamping hesti, dan benar saja ketika hesti berpamitan kepada orang pintar itu, orang tersebut langsung bergerak menaiki motor lalu pergi bersama hesti meninggalkan tempat yang belum terpecahkan misterinya ini, setelah terlibat perbincangan yang tidak terlalu lama, sosok orang pintar dan asistennya tersebut menaiki anak tangga berbatu alam dan hilang dalam kegelapan malam, melihat kedua orang tersebut tidak terlihat lagi keberadaannya perhatian kami kembali tertuju pada sosok minto yang masih terbaring dengan celana yang belum dikenakannya, bergegas gw berinisiatif membantu mengenakan celana pada tubuh minto.

“mas dikin.. bantuin saya” pinta gw kepada mas dikin untuk membantu mengenakan celana pada tubuh minto, dengan sigapnya mas dikin berusaha membantu minto untuk bangun begitu juga dengan indra, hingga akhirnya mereka berpandangan satu sama lain.

“sialll” maki indra sambil mencoba mencium telapak tangannya, begitu halnya dengan mas dikin dia tampak sibuk mengelapkan tangannya pada rerimbunan semak belukar, cahaya senter gw menemukan botolan air mineral yang gw berikan masih tampak utuh berada ditanah tanpa ada tanda sudah digunakan, cukuplah tanda tanda ini untuk gw mengartikan apa yang sedang terjadi, akhirnya dengan menggunakan air yang ada indra dan dikin membersihkan tangannya dari kotoran yang menempel.

Setelah cukup lama akhirnya minto bisa menguasai kembali rasa ketakutannya, tatapannya terlihat mencari sesuatu diantara rerimbunan belukar tempatnya tadi membuang hajat.

“gara gara lu to.. hilang tuh target kita si hesti, kita jadi enggak tau apa dia lakukan disini” gerutu indra sambil melihat minto yang terduduk ditanah.


>> Lanjutkan membaca cerita horror jeritan malam chapter 18

Sebuah pembuktian bagian enam, terungkapnya sejarah mess..

Tinggalkan komentar