Cerita dari kaskus oleh meta.morfosis
Sebuah pembuktian bagian tiga, terungkapnya sejarah mess..
<< Baca sebelumnya: cerita horror jeritan malam chapter 14
Tepukan ke arah kening untuk membinasakan nyamuk yang menghisap darah ini sepertinya menjadi puncak keputus asaan gw terhadap semua penantian ini.
“ini semua omong kosong mas, bodohnya kita melakukan semua ini” ucap gw sambil mencoba bangkit dari duduk yang hampir membuat keram kaki ini.
“sekarang kita bisa buktikan disini mas, disaat keberanian kita bisa mengalahkan rasa takut, semua hal yang berbau mistis itu cuma bualan, omong kosong”
“rasa takut yang membuat kita berimajinasi dan membentuk sosok2 aneh dan suara2 aneh itu” dengan bangganya gw mengucapkan alasan mengapa semua kejadian mistis itu bisa terjadi.
“apa ini..” untuk kedua kalinya dalam hidup gw, sesajen yang terletak dilantai menjadi santapan sepakan kaki ini.
“mas dikin mau kasih makan siapa? kucing? anjing?” ucap gw mengajak mas dikin bercanda seraya mengambil kepala ayam dari dalam cawan dan melemparkannya keluar pagar.
“pak reza.. sabar pak” kembali mas dikin mengingatkan gw dalam rasa takut dan kekhawatiran di wajahnya, sesaat tatapan gw menatap mas dikin lalu kemudian berpaling pada kujang/keris yang berada digenggaman tangan ini,
“kujang/keris tua sialan.. hampir aja gw mempercayai kesaktian lu dan membalikan semua kewarasan gw” tanpa berpikir lagi apakah kujang/keris itu mempunya nilai jual tinggi, segera gw lempar benda itu kerumput yang masih berada didalam halaman rumah, tampak mas dikin hanya menggeleng2kan kepala tanpa berusaha menghalangi
“mas dikin, besok antar saya bertemu dengan hesti”
“loh memangnya enggak kerja pak? terus mau ngapain, mau dilanjutin pembuktian ke hesti?” serangkaian pertanyaan muncul dari mulut mas dikin.
“saya besok niat bolos aja mas, bukan mau pembuktian lagi tapi saya mau minta maaf karena sudah berpikir buruk tentang dia” terang gw menunjukan maksud keinginan bertemu dengan hesti.
“setelah itu baru nanti kita ambil waktu yang tepat berkunjung ke tempat mbah warsono”
Setelah semua pembuktian terasa sia sia, akhirnya kami memutuskan untuk masuk kedalam rumah, sebelum masuk terlihat mas dikin mencoba membereskan sesaji yang terlihat berantakan.
“udah besok aja mas, lebih baik beresin pecahan beling yang didapur” mas dikin segera menghentikannya dan ikut bergegas kedalam rumah kemudian lanjut membersihkan pecahan piring dan nasi yang berserakan dilantai, gw coba menemani mas dikin dengan obrolan ringan, disela sela hampir selesainya mas dikin merapihkan meja makan dan hendak beranjak untuk tidur, tatapan mata mas dikin tampak kaku tanpa berkedip menatap gw, entah apa yang dilihatnya hingga membuat dia segugup itu, jangankan untuk berkata secara benar, untuk sekedar mengedipkan matanya saja terasa sulit.
“kenapa mas” tanya gw yang ikut merasa was was dengan tatapan itu, gw tidak bisa membayangkan apabila peristiwa yang terjadi beberapa jam yang lalu kini terjadi lagi menimpa gw, bayangan gw tentang wajah mas dikin yang berubah menjadi orang tua renta segera memenuhi imajinasi gw.
“jangan panik za.. tenang” ucap gw dalam hati, jangan sampai rasa ketakutan gw itu membentuk imajinasi mistis.
“hehhh.. kamu kenapa mas dikin?” tanya gw dengan sedikit membentak.
“aaaa.. iiiiii.. tuuu pak” suara yang keluar dari mulut mas dikin terasa tanpa arti.
“apa sih mas?” tanya gw lagi yang akhirnya gw penasaran untuk perlahan melihat kebelakang tubuh gw, tidak ada apa selain lukisan yang tergantung di dinding dan lemari jati yang tampak tua, khawatir mas dikin akan bertingkah aneh seperti yang pernah terjadi dengan indra, segera gw tarik tubuh mas dikin untuk menuju ruang tengah, terdengar suara mas dikin yang masih terbata bata mencoba menerangkan apa yang dilihatnya.
“tarik nafas dulu mas.. nafas.. jangan lihat ke dapur, tatap gw” sugesti untuk membentuk rasa nyaman gw ucapkan untuk menenangkan mas dikin, setelah terlihat mas dikin agak tenang, segera gw ulangi pertanyaan yang sama.
“mas dikin tadi lihat apa?”
Mas dikin mencoba menerangkan apa yang baru saja dilihatnya, tatapan matanya melihat rambut yang menembus langit langit dapur, tergerai turun secara perlahan hingga akhirnya menyentuh lantai, rambut itu turun sangat tepat dibelakang gw bahkan terangnya lagi ada sebagian rambut yang menyentuh pundak gw sebelum menyentuh lantai, ini sangat tidak mungkin, bagaimana bisa gw tidak merasakan itu semua.
“ingat mas, intinya jangan takut.. sebaiknya kita tidur”
Sebelum gw melangkah kedalam kamar tampak mas dikin yang masih berdiri mematung, sepertinya rasa takut belum beranjak pergi darinya.
“mas dikin kenapa lagi?”
“saya tidur diruang tamu aja pak, sekalian nunggu pak indra dan pak minto pulang”
Mata gw masih menatap langit langit kamar, ada kebanggan yang tersirat dari tatapan ini, gw sudah berhasil membuktikan bahwa semua kejadian ini adalah imajinasi buah dari ketakutan, terbayang wajah indra, minto dan dikin yang masih saja terjebak dalam rasa takut itu.
“dasar penakut..” ucap gw sambil tersenyum.
“sebaiknya gw tidur, besok akan gw jelaskan penyebab semua kejadian ini”
Belum sampai mata ini berhasil dipejamkan, tiba tiba keadaan menjadi gelap gulita rupanya listrik di mess ini turun, terdengar suara dikin dari luar kamar.
“pak reza!!” ada rasa panik dari nada suaranya, mungkin dia kaget mendapati lampu yang mati, ditambah rasa takut yang masih dia rasakan.
“ya mas dikin! lampu mati kenapa?”
“sepertinya turun pak”
Lama gw menanti lampu ini menyala, hingga akhirnya sebuah hembusan dingin terasa menerpa leher dan wajah ini, dalam suasana gelap gulita seperti ini gw masih bisa membedakan antara hembusan angin dengan hembusan nafas, rasa keberanian dan kebanggan yang tadi bagaikan mahkota dikepala gw kini terasa sirna, gw bisa merasakan dan mendengar setiap tarikan dan hembusan nafasnya, tarasa dekat sekali disamping wajah ini, bulu kuduk yang menjadi alarm tersensitif dari diri gw kini terasa menebal seiring dengan detak jantung yang berdegup semakin cepat, keinginan gw untuk berteriak memanggil mas dikin seperti tercekat dalam tenggorokan ini.
“berani za.. berani.. harus berani” rasanya semua motivasi itu kini terasa menjadi sia sia, semua menjadi luntur dan menghilang seiring dengan bunyi suara nafas yang terdengar jelas ditelinga ini.. setiap tarikan nafasnya terasa begitu berat seperti suara orang yang sedang mengorok, begitupun disetiap hembusan nafas dinginnya terasa dingin hingga gw tidak bisa merasakan keringat dingin yang keluar dari tubuh ini, mendapati sensasi seaneh ini tiba tiba gw terbayang dengan sosok arda yang meninggal dalam keadaan tidak lazim dikamar ini, seperti inikah yang dia rasakan berada dalam hidup dan mati disetiap hembusan nafasnya yang terasa sulit, kini rasa dingin itu perlahan sudah menjalar hingga kaki dan tubuh gw, seperti selimut yang perlahan menutupi tubuh gw dan akhirnya gw tidak lagi bisa menyadari kapan lampu itu menyala kembali.
…
“za.. bangun zaa, enggak kerja lu” terdengar suara minto sambil mengetuk pintu kamar, sinar cahaya pagi seperti menyadarkan gw dari mimpi buruk yang panjang, ada rasa pegal dan nyeri diseluruh tubuh ini, keinginan gw untuk bangkit terhalang kenyataan yang ada, mata gw mencoba memperhatikan kaki kanan yang tampak memerah dan terasa sakit untuk digerakan.
“zaaaa” kembali terdengar suara minto mengetuk pintu kamar.
“to tolongin gw..”
“lu enggak kenapa2 za?” terdengar suara panik dari nada bicara minto.
“tolongin gw to” untuk kali ini terdengar minto memanggil indra dan dikin ditengah kepanikannya, hingga akhirnya pintu terbuka dengan cara paksa.
“lu kenapa za” tanya indra seraya memperhatikan gw yang sedang memperhatikan kaki yang terasa semakin panas dan menyebabkan sakit yang luar biasa, terlihat wajah kaget dari mereka melihat apa yang terjadi pada diri gw.
“gila.. badan lu panas bangat za..l u sakit ya?” ucap indra kembali ketika mencoba menyentuh kening gw, melihat semua itu mas dikin tanpa menunggu perintah lagi segera berlari keluar dan kembali dengan sebuah air hangat untuk meredakan panas di tubuh ini.
“biar gw panggilkan dokter za..” minto mencoba mengambil inisiatif melihat gw yang tidak akan mampu menuju rumah sakit, tatapan mata mas dikin seolah bisa memberikan gw gambaran tentang apa yang dipikirkannya, terlihat mas dikin mencoba menahan laju langkah minto dan menceritakan tentang kejadian semalam.
“kalian semalam kemana aja?” tanya gw sebelum mereka mencoba bertanya, kembali gw meringis merasakan sakit yang gw rasakan di kaki ini.
“sumpah za.. kami semalam ada diluar pagar, kami enggak berani masuk, sampai akhirnya kami memutuskan untuk tidur di masjid”
“enggak berani masuk?” tanya gw dan berharap sebuah jawaban alasan yang akan keluar dari mulut mereka.
>> Lanjutkan membaca cerita horror jeritan malam chapter 16
Sebuah pembuktian bagian empat, terungkapnya sejarah mess